Kamis, 04 Maret 2010

Menjadi anak domba di tengah serigala

Rekoleksi imam diosesan, 2 maret 2010 oleh Rm. Sujanto

Rekoleksi saat ini bertemakan” Refleksi perjalanan pastoral saya selama ini”. Saya ditahbiskan tahun 1994. Pada waktu itu saya ditugaskan di Baradatu. Kemudian saya dipindahkan ke Kota Gajah. Di tempat yang baru, saya melihat apa yang terjadi di Kota Gajah telah berjalan: kemandirian, kesadaran berpastoral. Di Kota Gajah lumayan lama. Ketika dipindahkan ke seminari, saya merasa kekosongan. Lebih-lebih tugas di seminari sesuatu yang baru yakni menjadi ekonomat seminari. Suatu tantangan. Yang menguatkan saya yakni di seminari merupakan kesempatan untuk merefleksikan perjalanan imamat selama ini. Ada banyak waktu yang bisa digunakan ketika di seminari dengan membaca dll. Saya pelan-pelan mulai kerasan. Tapi di tengah program yang belum selesai, saya mesti kembali ke Lampung. Ada perasaan gagal, mengapa saya dalam waktu singkat mesti kembali ke Lampung dan ditempatkan di Bandar Jaya. Situasi yang baru dan orang-orang yang baru saya kenal di bandar Jaya. Ternyata setelah 2 tahun meninggalkan Lampung, ada banyak hal yang baru diantaranya arah pasoral, situasi sosial kemasyarakatan. Saya merasa perlu belajar kembali. Rm. Marius mengatakan kalau romonya tidur maka umatnya molor. Saya mencoba tak mendengar itu. Saya berjalan bersama dengan situasi yang ada. Ada fr. Surip yang kemudian menemani. Pengalaman bersama dengan umat memunculkan pengalaman ketidakberdayaan yang sama dengan umat. Ada kesulitan dalam pertanian: kemarau, hujan mendatangkan kebanjiran. Dalam situasi kesulitan, saya merasakan ditemani umat yang tidak berdaya juga. Sementara itu hiruk pikuk sosial politik pun memuncul, dengan kasus bank century. Ada kebahagiaan dalam diri saya, dalam situasi sulit, umat tetap bahagia. Dan ini membangkitkan saya untuk tetap bersemangat dalam menjalankan pastoral. Saya teringat kembali ketika persiapan menjelang tahbisan yakni membaca Kita Suci sebagai novel. Dan ini meneguhkan saya untuk menimba kekukatan dari Sang Sabda.Dalam membaca kembali Sang Sabda, saya disadarkan melihat Injil sebagai sumber mata air. Maka pertanyaan refleksif bagi saya yakni kalau saya tak mengalami penguatan dari Injil, maka apa yang saya wartakan kepada umat. Maka saya mau mendalami secara khusus Injil Lukas 3: Pergilah, tugas perutusan, Yesus mengutus para murid-Nya. “Pergilah sesungguhnya Aku mengutus kamu ke tengah-tengah kawanan serigala.” Ada kegembiraan para murid yang telah melaksanakan tugas-Nya. Para murid mengalami keberhasilan padahal mereka diutus ke tengah kawanan serigala. Karakter serigala: gigi tajam, buas, yang kuat yang menang, hukum rimba.Dalam kehidupan manusia. Kita melihat sikap seperti serigala kita temui dalam hidup. Yang kuat yang menang. Gambaran Yesus tentang Gembala yakni seorang Gembala tidak menjadi lebih tinggi (=anak domba, pelayan). Apakah semua orang yang telah dibaptis dengan sendirinya telah menjadi anak domba? Apakah kemudian serigala bisa menjadi anak domba?
Sebaga frater atau imam, kita dipersiapkan untuk menjadi anak domba. Saya kadang seperti serigala berbulu domba. Apalagi jika kesempatan itu ada. Saya diingatkan oleh Matius tentang sabda “waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang seperti domba tapi padahal serigala.”
Misi diutus ketengah-tengah serigala kalau mengandalkaan kekuatan anak domba, maka akan menjadi suatu yang tak mungkin. Saya merenungkan ada kekuatan yang bisa membuat misi berhasil adalah semakin aku lemah, semakin aku kuat. Saat anak domba berani mengandalkan Allah maka misi bisa berjalan dan berhasil. Kekuatan Allah bisa hadir dalam kebersamaan imam dan dengan umat. Maka perlunya keterbukaan terhadap kehadiran Allah yang perlu kita kenal kembali. Dalam tugas perutusan, banyak hal yang harus dikurbankan. Tapi ini menjadi kesaksian akan kekuatan Allah. Pada saat kita menjadi anak domba kita siap untuk menjadi tidak berdaya dan membuka karya Roh Kudus dalam hidup kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar